Inalum Klarifikasi Rumor Tak Sedap Terkait Peralihan Saham Mayoritas Freeport

Inalum Klarifikasi Rumor Tak Sedap Terkait Peralihan Saham Mayoritas Freeport

Rampungnya proses peralihan saham mayoritas PT Freeport Indonesia menyisakan banyak rumor tak sedap, mulai dari tudingan membeli lahan sendiri, gadai aset ke asing, hingga biaya divestasi. Induk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertambangan, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero Tbk. akhirnya angkat bicara meluruskan rumor tersebut. \"Tidak seperti itu,\" tegas Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar-Lembaga Inalum Rendi A. Witular dalam keterangan tertulis yang diterima AntaraNewsSenin (24/12/2018). Pertama, terkait aset yang digadai kepada asing ketika Inalum menerbitkan obligasi global senilai $4 miliar AS. Rendi menjelaskan, ketika itu perusahaan memang menerbitkan obligasi (global bond) tanpa jaminan lantaran banyak investor global yang memang sudah percaya akan kinerja Inalum dan prospek bisnis Freeport Indonesia. Adapun alasan penerbitan obligasi global lantaran jalur ini dinilai lebih kompetitif dan stabil dibandingkan dengan pinjaman dari sindikasi perbankan asing. \"Jika lewat perbankan, akan ada risiko suku bunga yang dapat melonjak saat ketidakpastian ekonomi global. Belum lagi jika untuk jangka panjang, biasanya bank meminta jaminan,\" jelas Rendi. Lalu mengapa Inalum tidak mengambil pembiayaan dari dalam negeri? Jawabannya karena Inalum tidak mengingiInkan ada uang yang keluar dari Indonesia dan mengakibatkan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. \"Ini kan uangnya dari Jepang, Singapura, Amerika Serikat, dan Eropa yang ditransfer ke negara lain,\" tegasnya. Obligasi Inalum terdiri dari empat seri dengan masa tersingkat 3 tahun dan paling lama 30 tahun dengan tingkat kupon rata-rata 5,991 persen. Dari $4 miliar AS tersebut, sebesar $3,85 miliar (setara Rp55 triliun) digunakan untuk pembayaran saham Freeport Indonesia dan sisa $150 juta AS untuk refinancing (pembiayaan ulang). Setiap tahunnya, Inalum hanya diwajibkan membayar kupon dengan nilai rata-rata Rp1,7 triliun. Dengan pendapatan setiap tahun Freeport yang diprediksi bisa mencapai Rp60 triliun, maka Inalum memiliki kemampuan yang besar untuk membayar kupon tersebut. Sebaliknya, jika meminjam bank maka Inalum memiliki risiko untuk membayar pokok cicilan ditambah bunga yang nilainya kemungkinan bakal lebih besar dari Rp1,7 triliun. Koordinator underwriter (perantara pedagang efek) dalam penerbitan obligasi ini adalah BNP Paribas dari Perancis, Citigroup dari Amerika Serikat, dan MUFG dari Jepang. Sementara CIMB dan Maybank dari Malaysia, SMBC Nikko dari Jepang, dan Standard Chartered Bank dari Inggris ditunjuk sebagai mitra underwriter-nya. Inalum mendapatkan peringkat Baa2 dari Moody\'s dan BBB- dari Fitch. Obligasi terdaftar di Singapore Exchange Securities. Kedua, kabar yang menyebut Inalum membeli tanah di negeri sendiri. Berdasarkan dokumen Inalum, uang yang dikeluarkan adalah untuk pembelian perusahaanbukan cadangan emas yang dimiliki Freeport Indonesia. Hal ini lantaran PT Freeport Indonesia sudah mengantongi izin komersil untuk melakukan pertambangan di Grasberg sejak 51 tahun silam. Pemerintah semakin sulit mengambil alih pertambangan lantaran kontrak yang dibuat pada era Presiden Soeharto ini hanya mensyaratkan dua opsi: perpanjangan hingga 2041 atau gugatan ke pengadilan internasional. Apalagi dalam perjanjian tersebut juga tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir maka pemerintah bisa mengambil Freeport Indonesia dan tambang Grasberg secara gratis. Bisa saja pemerintah membawa pengambilalihan lahan ini ke arbitrase, namun tidak ada jaminan pemerintah bakal menang. Apesnya jika kalah, pemerintah malah harus membayar ganti rugi hingga puluhan triliun rupiah. Jika pun pemerintah menang, maka ada dampak lain yang harus diketahui: operasional Freeport Indonesia harus dikurangi atau bahkan dihentikan. Jika dihentikan, ada potensi keruntuhan terowongan bawah tanah, sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Ketiga, harga yang dibayarkan Inalum terlampau mahal. Isu ini sebenarnya bisa dengan mudah dibantah jika masyarakat melirik kembali berapa besar kekayaan tambang serta potensi laba bersih yang bakal diterima pemerintah. Seperti diketahui, Inalum membayar sekitar $3,85 miliar AS (sekitar Rp55 triliun) untuk meningkatkan kepemilikan di Freeport Indonesia dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen. Apa yang bakal didapat? Pertama, kekayaan tambang senilai Rp2.400 triliun (hingga 2041). Kedua, laba bersih setelah 2022 diprediksi bakal lebih dari Rp29 triliun per tahun. Ketiga, dari 100 persen saham Freeport Indonesia, Pemda Papua akan memiliki 10 persennya. Kira-kira, dividen yang bakal didapat Pemda Papua per tahun paling sedikitnya adalah $100 juta AS atau sekitar Rp1,45 triliun. Keempat, selain saham, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2018, pemda juga akan mendapatkan 6 persen dari laba bersih Freeport Indonesia. Jumlah itu akan dibagi menjadi 2,5 persen untuk Kabupaten Mimika, 2,5 persen untuk kabupaten di luar Mimika, dan 1 persen untuk Provinsi Papua. Kelima, kontribusi Freeport Indonesia dari pajak, royalti, pajak ekspor, dividen, dan pungutan lainnya bakal meningkat. Freeport Indonesia tercatat sebagai salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia dengan menyumbang sekitar Rp10.8 triliun pada tahun lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, terkait pajak badan, memang ada penurunan porsi menjadi 25 persen, dibanding sebelumnya sebesar 35 persen. Penurunan ini dikarenakan pemerintah akhirnya sepakat memberikan pajak tetap (naildown), seperti halnya yang berlaku pada Kontrak Karya (KK). Kendati demikian, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjamin penerimaan negara ada sisi non-pajak seperti royalti dan tarif lainnya akan jauh lebih besar. \"Royalti besar untuk negara dengan berapa pun harga coppermaupun emas, karena kita gunakan skenario. Kemudian ada PBB, pajak tanah air, semua akan masuk dalam komponen yang jumlahnya secara total lebih banyak,\" jelas Sri Mulyani dalam CNBC Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: